Tiga Wasiat Nabi Kepada Muadz bin Jabal
TIGA WASIAT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM KEPADA MU’ADZ BIN JABAL
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رضي الله عنه قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَوْصِنِي. قَالَ : اعْبُدِ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، وَاعْدُدْ نَفْسَكَ فِي الْمَوْتَى، وَإِنْ شِئْتَ أَنْبَأْتُكَ بِمَا هُوَ أَمْلَكُ بِكَ مِنْ هَذَا كُلِّهِ. قَالَ: هَذَا، وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى لِسَانِهِ.
Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu ia berkata, “Wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berianlah wasiat kepadaku !” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beribadahlah kepada Allâh Azza wa Jalla seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan persiapkanlah dirimu menghadapi kematian. Dan jika engkau mau, aku akan memberitahukan kepadamu suatu perkara yang mengendalikan semua itu.” Beliau bersabda, “Ini.” Beliau berisyarat dengan tangannya menunjuk kepada lidah beliau.”
Takhrij Hadits
Hadits ini adalah hadits hasan, diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Imam Thabrani dalam Mu’jamul Kabîr.[1]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni menghasankan hadits ini dalam Shahîh Jâmius Shaghîr no. 1040[2]
Syarah Hadits
Dalam hadits mulia ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan tiga perkara kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu . Tiga perkara tersebut adalah wasiat yang sangat berharga, yang mengarahkan seseorang Mukmin untuk meningkatkan dan mengoptimalkan sisi pernghambaan dan peribadahan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Berikut ini penjelasan singkat dari tiga wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut.
1. Ihsan dalam Beribadah Kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
Ini adalah wasiat pertama Nabi kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu , yaitu wasiat untuk beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala seolah-olah melihat kepada-Nya. Inilah yang disebut dengan ihsân dalam beribadah..Sebagiamna dalam hadits Jibril Alaihissallam, saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ihsân :
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allâh seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.[3]
Makna Ihsan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin mengatakan, “Ihsân adalah masdar dari fi’il (kata kerja) أَحْسَنَ يُحْسِنُ yang bermakna memberikan kebaikan. Dan makna ihsân jika berkaitan dengan hak Allâh Azza wa Jalla adalah engkau melaksanakan ibadahmu kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan ikhlas dan mengikuti contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semakin engkau ikhlas dalam beribadah dan semakin meneladani Nabi-Nya maka engkau semakin ihsan. Adapun jika berkaitan dengan hak sesama hamba, makna ihsân itu artinya adalah engkau memberikan kebaikan untuk mereka, baik berupa harta, kedudukan, atau selainnya.[4]
Pembagian Ihsan
Para Ulama menjelaskan bahwa ihsân terbagi menjadi dua macam.
- Pertama, ihsân dalam beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Inilah makna ihsân yang dimaksudkan dalam hadits di atas. Yaitu seseorang beribadah dengan merasakan kedekatan Allâh Azza wa Jalla kepadanya sehingga mengantarkannya untuk memperbagus ibadahnya.
- Kedua, ihsân berkaitan dengan hak-hak sesama makhluk. Yaitu berbuat baik kepada mereka dan menunaikan hak-hak mereka, seperti berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahim, memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan. Termasuk juga berbuat baik kepada hewan ketika menyembelihnya.
Syaikh ‘Abdullah bin Shalih al-Fauzan mengatakan, “Perbuatan ihsân terbagi menjadi dua macam. (Pertama) ihsân dalam beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , inilah maksud ihsân dalam pembahasan ini. (Kedua) ihsân berkaitan dengan hak-hak sesama makhluk.”[5]
Sebagian Ulama’ ada juga yang membagi ihsân manjadi tiga macam, yaitu ihsân dalam beramal, ihsân kepada sesama hamba, dan ihsân dalam hubungan hamba dengan Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzân hafizhahullâh mengatakan, “Ihsan terdiri atas tiga macam. (Pertama), ihsân dalam beramal, maksudnya adalah membaguskan dan menyempurnakan amalan itu. (Kedua), ihsân kepada orang lain, maksudnya adalah memberikan kenikmatan kepada mereka. (Ketiga), ihsân dalam hubungan seorang hamba dengan Rabbnya. Dan ini adalah tingkatan tertinggi dalam agama. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menafsirkannya dengan keberadaan seorang hamba ketika beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla seolah-olah melihat-Nya, dan jika tidak bisa melihatnya maka sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla melihatnya. Maknanya adalah bahwa seorang hamba beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan merasakan kedekatan Allâh Azza wa Jalla kepadanya, dan bahwa ia berada di hadapan Allâh Subhanahu wa Ta’ala seolah-olah melihat-Nya. Hal itu akan menimbulkan rasa takut kepada-Nya, mengagungkan-Nya, mengantarkan ketulusan dalam ibadah, memperbagus,dan menyempurnakanya.[6]
Rukun Ihsân
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Ihsân mempunyai satu rukun. Yaitu engkau beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla seolah-olah melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu.”[7]
Keutamaan Ihsan
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah memerintahkan kepada hamba-Nya dalam banyak ayat untuk berbuat ihsân. Penyebutan kata ihsân ada dalam banyak ayat al-Qur’an. Adakalanya digandengakan dengan keimanan[8], terkadang dengan keislaman[9], terkadang dengan ketakwaan[10]. Semuanya itu menunjukkan keutamaan ihsân dan keagungan pahalanya di sisi Allâh Azza wa Jalla .[11]
Jika kita mencermati ayat-ayat al-Qur’an, kita akan dapati banyak sekali dalil yang menunjukkan keutamaan orang yang berbuat ihsân. Di antaranya :
1. Allâh Azza wa Jalla menyertai orang-orang yang berbuat ihsân. Sebagaiman firman-Nya :
اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا وَّالَّذِيْنَ هُمْ مُّحْسِنُوْنَ
Sesungguhnya Allâh beserta orang-oerang yang bertakwa dan orang-0orang yang berbuat kebaikan. [an-Nahl/16 : 128].
2. Allâh Azza wa Jalla mencintai orang-orang yang berbuat ihsâ Sebagaimana firman-Nya :
وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
Dan berbuat baiklah, karena seungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang berbuat baik. [al Baqarah/2:195]
3. Orang yang berbuat ihsân dijanjikan surga dan akan melihat kepada wajah Allâh Azza wa Jalla , sebagaimanafirman-Nya :
لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوا الْحُسْنٰى وَزِيَادَةٌ ۗ
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. [Yunus/10 : 26].
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Maksud ayat ini, orang-orang yang berbuat ihsân dalam beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , dengan cara mendekatkan diri kepada-Nya, dan tulus dalam ibadah tersebut. Demikian pula, melaksanakan ibadah sesuai kemampuan mereka. Dan berbuat baik kepada hamba-hamba Allâh Azza wa Jalla sesuai kemampuan mereka dengan ucapan, perbuatan, harta, badan, amar ma’ruf nahi munkar, mengajari orang-orang yang jahil, menasihati orang-orang yang menyimpang, dan bentuk-bentuk perbuatan ihsân lainnya. Maka mereka (dijanjikan) mendapatkan al-husna, yaitu surga yang sempurna kebaikannya. Dan juga mendapatkan ziyâdah (tambahan), yaitu melihat kepada wajah Allâh Azza wa Jalla , mendengar firman-Nya, kemenangan dengan ridha-Nya, dan kesenangan dengan kedekatan kepada-Nya.”[12]
2. Mempersiapkan diri untuk Menghadapi Kematian
Ini wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kedua kepada Mu’adz bin Jabal rahimahullah dalam hadits di atas. Yaitu wasiat untuk mengingat kematian dan mempersiapkan diri untuknya. Kematian termasuk ketentuan dan taqdir Allâh Azza wa Jalla yang pasti akan menghampiri setiap jiwa. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. [Ali Imran/3:185].
Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman.
اِنَّكَ مَيِّتٌ وَّاِنَّهُمْ مَّيِّتُوْنَ ۖ
“Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). [az-Zumar/39:30]
Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman,
اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يُدْرِكْكُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِيْ بُرُوْجٍ مُّشَيَّدَةٍ ۗ
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu dia dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. [an-Nisâ’/4:78]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan ayat ini mengatakan, “Maksudnya adalah setiap orang akan menemui kematian. Itu hal yang pasti. Tidak ada seorang pun yang akan selamat darinya, baik ia ikut serta dalam jihad ataupun tidak. Sesungguhnya setiap orang memiliki ajal yang telah ditetapkan dan kedudukan yang telah ditentukan.”[13]
Pentingnya Mengingat Kematian
Sebagai seorang Mukmin sudah selayaknya kita memperbanyak mengingat kematian dan menyiapkan bekal untuknya. Karena dengannya, seseorang akan terdorong untuk bersemangat amal ketaatan sebagai bekal di kehidupan abadi di akhirat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هادم اللَّذَّاتِ
Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan (yaitu kematian). [14]
Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang banyak mengingat kematian dan mempersiapkan bekal adalah orang pandai. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa ada seorang laki-laki dari kalangan Anshar yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang Mukmin manakah yang paling cerdas, maka beliau menjawab :
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ أَكْيَاسٌ
Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas. [15]
Manfaat Mengingat Kematian
Banyak manfaat yang akan didapatkan seseorang jika ia memperbanyak mengingat kematian, diantaranya adalah :
- Mendorong untuk lebih mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia, juga mengantarkannya untuk bersikap qana’ah (merasa cukup) terhadap dunia. Karena ia memahami bahwa kehidupan akhirat adalah kehidupan yang kekal abadi, sedangkan kehidupan dunia adalah kehidupan yang fana. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. al A’lâ/ 87: 17)
- Menjadikan seseorang merasa ringan dalam menghadapi musibah yang menimpanya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah :
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ : الْمَوْتَ , فَإِنَّهُ لَمْ يَذْكُرْهُ أَحَدٌ فِيْ ضِيْقٍ مِنَ الْعَيْشِ إِلاَّ وَسَّعَهُ عَلَيْهِ, وَلاَ ذَكَرَهُ فِيْ سَعَةٍ إِلاَّ ضَيَّقَهَا عَلَيْهِ
Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya di waktu sempit kehidupannya, kecuali (mengingat kematian) itu melonggarkan kesempitan hidup atasnya. Dan tidaklah seseorang mengingatnya di waktu lapang (kehidupannya), kecuali (mengingat kematian) itu menyempitkan keluasan hidup atasnya.[16]
- Mendorongnya untuk bersemangat beribadah, karena ia memahami bahwa kehidupan dan kematian adalah hakekatnya untuk menguji siapakah yang lebih baik amalnya.
ۨالَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ
Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. [Al Mulk/67:2]
Ulama’ Salaf dalam Mengingat Kematian
Para Ulama’ terdahulu dari kalangan shahabat, tâbi’în, dan tâbi’ut tâbi’în sangat perhatian dengan masalah mengingat kematian, sangat antusias dalam mengambil pelajaran darinya, sangat mengharapkan husnul khatimah dan sangat khawatir dari su’ul khatimah.
Disebutkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa apabila ia melihat ada yang memikul jenazah, maka ia mengatakan, “Berangkatlah menuju Rabbmu, sesungguhnya kami juga akan segera menyertaimu.”[17]
Dan al A’masy berkata, “ Dahulu kami menghadiri jenazah, maka kami tidak tahu kepada siapa kami memberikan ta’ziah karena kesedihan telah meliputi semua orang.”[18]
3. Menjaga Lisan
Ini wasiat terakhir beliau kepada shahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu , yaitu wasiat menjaga lisan. Tidak diragukan, bahwa setiap perbuatan manusia tidak lepas dari pengawasan Allâh Azza wa Jalla , termasuk setiap perkataan lisan. Adakalanya ucapan mengantarkan kepada kebaikan dan pahala, tapi adakalanya menjerumuskan kepada maksiat dan dosa. Maka wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah wasiat yang sangat penting dan berharga, yang membimbing supaya setiap hamba menjaga lisannya, dan tidak menggunakannya untuk mengucapkan sesuatu kecuali dalam kebaikan. Bahkan menjaga lisan itu termasuk perkara pokok dan menjadi penentu keselamatan dan kecelakaan seseorang sebagaimana penjelasan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut.
Wajibnya Menjaga Lisan
Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan bahwa semua ucapan manusia itu tercatat dan manusia akan mempertanggngjawabkannya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qâf/50:18].
Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Kami akan mencatat perkataan mereka. (QS. Ali ‘Imrân/3:181)
Adakalanya seseorang mengucapkan perkataan yang dianggapnya remeh tapi ternyata itu suatu hal yang besar di sisi Allâh Azza wa Jalla , dan adakalanya seseorang mengucapakan perkatan yang dianggap tidak berbahaya tapi ternyata menyebabkanya terjerumus ke neraka. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
مَّا لَيْسَ لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ وَّتَحْسَبُوْنَهٗ هَيِّنًاۙ وَّهُوَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمٌ ۚ
Dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga., dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allâh adalah besar. [An-Nûr/24:15]
Demikian pula Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda dalam hadits Abu Hurairah :
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِى بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya masuk ke dalam neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat[19]
Oleh karena itu, wajib bagi setiap Muslim untuk menjaga lisannya supaya senantiasa berbicara dalam kebaikan, dan menjauhi perkataan-perkataaan keji, dusta, dan perkataan maksiat lainnya karena sadar atau tidak hal itu akan mengantarkannya pada kebinasaannya dan menyebabkan celaka. Dan diantara konsekuensi keimanan seseorang adalah mengucapkan perkataan yang baik atau jika tidak maka diam[20]
Beberapa Penyakit Lisan
Banyak sekali penyimpangan dan kemaksiatan yang terjadi karena ucapan lisan seseorang. Berikut ini sekedar beberapa contoh :
- Berbicara sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah z :
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat[21]
- Berbicara keji, suka mencela, mencaci dan melaknat. Sebagian orang terbiasa mengungkapkan perkataan laknat, baik kepada orang lain, binatang, tempat-tempat, dan semisalnya. Sehingga ucapan laknat itu seolah-olah suatu kata yang paling mudah diucapkannya. Ini adalah kebiasaan yang terlarang. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu :
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ
Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela, melaknat, berperangai buruk, dan mengucapkan ucapan yang kotor. [22]
- Banyak bercanda dan bersenda gurau. Ini termasuk kebiasaan yang hendaknya dijauhi, karena banyak bercanda akan menimbulkan hilangnya kewibawaan, juga bisa memunculkan kedengkian dan dendam. Namun jika bercandanya sedikit maka itu diperbolehkan, karena hal itu menunjukkan keceriaan dan kegembiraan. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bercanda, namun beliau tidak berkata kecuali berupa kebenaran.[23]
- Mengolok-olok manusia, merendahkan, dan mencari-carai kesalahan mereka. Hal ini telah diancam dalam firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍۙ “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. [Al Humazah/104:1]
- Ghibah dan namimah. Ghibah adalah menyebutkan perkara yang dibenci seseorang tanpa sepengetahuannya. Namimah adalah menukil suatu perkataan dalam rangka membuat kerusakan dan perpecahan di antara manusia. Tentang ghibah disebutkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ
Dan janganlah sebagian menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara memakan daging asaudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. [Al Hujuraat/49:12]
Tentang larangan perbuatan namimah disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَبِحَائِطٍ مِنْ حِيْطَانِ الْمَدِينَةِ أَوْ مَكَّةَ ، فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِيْ قُبُوْرِهِمَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ. ثُمَّ قَالَ : بَلَى ، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu ia berkata, “Suatu ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallammelewati sebuah kebun di Madinah atau Mekah, lalu beliau mendengar suara dua orang yang sedang disiksa dalam kuburnya. Maka beliau bersabda, “Keduanya sedang disiksa dan tidaklah keduanya disiksa karena masalah yang sulit untuk ditinggalkan”. Kemudian beliau kembali bersabda, “Memang masalah mereka adalah dosa besar. Orang yang pertama tidak menjaga diri dari percikan air kencingnya, sedangkan orang kedua suka melakukan namimah” [24]
Menjaga Lisan Mendapat Jaminan Surga
Dalam hadits yang shahih Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah memberikan jaminan surga bagi orang yang mampu mengendalikan lisannya. Ini merupakan keutamaan yang besar bagi orang yang mampu menjaga lisannya dan menggunakannya dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya.[25]
Demikian pembahasan singkat dari hadits yang mulia ini. Tentang tiga wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada shahabat Mu’adz bin Jabal. Semoga kita bisa melaksanakan tiga wasiat tersebut. Dan semoga Allâh senantiasa membimbing kita kepada jalan yang diridhai-Nya. Amin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Silsilah al-Ahâdîts as-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Tahun 1415 H/1995 M, Maktabah al-Ma’arif li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Riyadh, III/462.
[2] Lihat Shahîh al-Jâmi’ as-Shaghîr wa Ziyâdatihi, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Cet. III, Tahun 1408 H/1988 M, al-Maktab al-Islami, Beirut, Hlm. 238.
[3] HR. Muslim no. 1, 8 dari ‘Umar bin Khathab.
[4] Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. III, Tahun 1425 H/2004 M, Dar ats-Tsurayya li an-Nasyr, Unaizah, Hlm. 64.
[5] Hushûl al-Ma’mûl bi Syarh Tsalatsati al-Ushul, Syaikh ‘Abdullah bin Shalih al-Fauzan, Cet. I, Tahun 1420 H/1999 M, Maktabah ar-Rusyd li an-Nasyr wa at-Tauzi,. Riyadh, hlm. 138.
[6] al-Khuthab al-Mimbariyyah fi al-Munasabat as-Syar’iyyah, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Cet. I, Tahun 1413 H/1993 M, Maktabah al-Ma’arif li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Riyadh, I/233-234.
[7] Hushul al-Ma’mul bi Syarh Tsalatsati al-Ushul, Syaikh ‘Abdullah bin Shalih al-Fauzan, Cet. I, Tahun 1420 H/1999 M, Maktabah ar-Rusyd li an-Nasyr wa at-Tauzi,. Riyadh, hlm. 138-139.
[8] Di antaranya dalam QS. al-Mâidah/5:93.
[9] Di antaranya dalam QS. al Baqarah/2:112.
[10] Di antaranya dalam QS. an-Nahl/16:128.
[11] Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, Imam Zainuddin Abu al-Farj Abdurrahman bin Syihabuddin, Cet. I, Tahun 1429 H/2008 M, Dar Ibn Katsir, Beirut, Hlm. 102.
[12] Taisâr al-Karîm ar-Rahmân, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Cet. I, Tahun 1423 H/202 M, Muassasah ar-Risalah, Beirut, Hlm. 362.
[13] Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Imam ‘Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Cet. Ke-5, Tahun 1421 H/2001 M, Jum’iyyah Ihya’ at-Turats al-Islamiy, Kuwait, I/722.
[14] HR. at-Tirmidzi no. 2307 dan Ibnu Hibban no. 2992. Dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3434.
[15] HR. Ibnu Majah no. 4259. Dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts as-Shahîhah no. 1384
[16] HR. ath-Thabarani dan al-Hakim. Lihat Shahih al-Jami’ as-Shaghir no. 1222 dan Shahîh at-Targhîb, no. 3333.
[17] Min Akhlaqi as-Salaf, Ahmad Farid, Tahun 1412 H/1991 M, Dar al-Aqidah, al-Qahirah, Hlm. 26.
[18] Idem.
[19] HR. Muslim no. 2988 dari Abu Hurairah.
[20] Sebagaiman disebutkan dalam HR. al-Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[21] HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 5911.
[22] HR. at-Tirmizi no. 1977. Dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1977.
[23] Lihat al-Khuthab al-Mimbariyyah fi al-Munasabat as-Syar’iyyah, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Cet. I, Tahun 1413 H/1993 M, Maktabah al-Ma’arif li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Riyadh, II/319.
[24] HR. al-Bukhari no. 213 dari Ibnu ‘Abbas.
[25] HR. al-Bukhari no. 6474 dan Tirmidzi no. 2408.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/69296-tiga-wasiat-nabi-kepada-muadz-bin-jabal.html